Depresi merupakan gangguan psikologi dengan prevalensi terbesar (sumber: klik di sini). Faktor penyebabnya bisa jadi karena predisposisi genetik, stres, serta peristiwa traumatis dalam hidup. Ironisnya, di Indonesia, depresi seringkali tidak mendapatkan perhatian khusus karena tabunya pandangan masyarakat tentang gangguan ini, sehingga lebih dianggap sebagai sesuatu yang normal dialami setiap manusia, dianggap sebagai pola kepribadian (memang orangnya begitu), atau bahkan dianggap tabu dan terlalu ‘cengeng‘ untuk mendapatkan pertolongan psikologis karena masalah serta gejalanya dianggap sepele.
Salah satu hal yang menunjukkan bahwa gangguan depresi belum terlalu dianggap serius ialah minimalnya pengetahuan masyarakat tentang apa itu depresi. Gejala depresi seringkali disamakan dengan gejala cemas. Padahal, depresi dan cemas merupakan dua gangguan yang sama sekali berbeda. Untuk lebih memahami hal ini, ilustrasi dari Dr. Hans Selye berikut mungkin dapat membantu (sumber klik di sini).
Diagram ini memperlihatkan respon seseorang ketika menghadapi stres. Reaksi pertama ketika menghadapi stres ialah memformulasikan masalah/stresor, menyusun perhitungan, serta mempertimbangkan sumber daya di dalam diri untuk mengatasi stres tersebut. Ini semua terjadi pada fase alarm. Selanjutnya, tubuh maupun psikis akan mulai membentuk mekanisme pertahanan diri untuk melawan stres tersebut (tahap resistance). Setelah sumber daya dan mekanisme pertahanan diri dilakukan, akan ada masanya kondisi fisik dan psikis seseorang akan mengalami kelelahan (tahap exhaustion).
Dari diagram di atas, gejala cemas seharusnya muncul di akhir fase 1 hingga titik puncak fase 2, sedangkan gejala depresi mulai timbul sejak akhir gejala cemas hingga masalah terselesaikan (bahkan seringkali masalah sudah selesai pun tetap meninggalkan gejala depresi). Walau demikian, tidak selalu gejala cemas mendahului gejala depresi.
Gejala umum yang ditemui pada orang-orang yang mengalami depresi ialah:
tidak semangat dalam menjalani hidup sehari-hari (merasa sedih, hampa, dan tidak berpengharapan), juga sering tampak sensitif (mudah marah dan tersinggung),
menurunnya minat untuk melakukan kegiatan sehari-hari (tidak semangat bekerja atau beraktivitas, banyak menghabiskan waktu dengan merenung saja),
penurunan atau peningkatan berat badan secara drastis,
tidak bisa tidur atau tidak bisa tidak tidur,
tubuh tidak bergairah, cepat lelah,
perasaan bersalah dan tidak berdaya yang sangat berlebihan,
tidak mampu berpikir jernih, sulit berkonsentrasi, sulit membuat keputusan,
pemikiran berulang untuk bunuh diri.
Gejala ini mungkin dialami oleh orang-orang yang baru ditinggalkan orang yang dikasihi, kehilangan pekerjaan, atau hal-hal signifikan lainnya. Namun demikian, ketika gejala ini terasa begitu kronis, menetap, dan sulit diatasi setelah beberapa lama peristiwa traumatis tersebut, sangat penting untuk segera berkonsultasi kepada psikolog atau psikiater.
Oleh psikiater, terapi akan difokuskan pada pengembalian hormon, cairan tubuh, serta neurotransmiter ke kondisi normal (homeostatis), walau biasanya juga tetap dibekali dengan pemberian saran praktis. Oleh psikolog, terapi akan difokuskan pada penanganan masalah secara langsung, mendengar serta berdiskusi tentang keluhan dan masalah yang dialami klien, serta cara-cara untuk mengatasinya, termasuk jika masalah timbul kembali di keesokan harinya. Dalam kondisi tertentu yang dianggap ringan, terapi psikologi saja dapat efektif untuk mengatasi masalah depresi pada klien. Namun, untuk kondisi yang cukup serius, terapi psikologi yang dibarengi dengan terapi obat (oleh psikiater) dapat meningkatkan efektivitas pemulihannya.
Jika depresi dibiarkan berlarut-larut, gejalanya menjadi semakin sulit disembuhkan, di samping membuka peluang komorbid (muncul bersamaan) dengan gejala lain, seperti: gangguan psikotik (halusinasi, delusi, pikiran kacau), gangguan cemas (jantung berdebar, gangguan pencernaan, dsb.), dan gangguan lainnya. Jadi, semakin cepat terdeteksi, semakin cepat mendapatkan penangangan yang sesuai, maka semakin besar peluang untuk bisa segera dipulihkan kembali. Yang terpenting perlu diketahui adalah bahwa depresi adalah salah satu gangguan dengan prevalensi prognosis positif yang besar, artinya sangat mungkin untuk dipulihkan.
“There are wounds that never show on the body that are deeper and more hurtful than anything that bleeds.” – Laurell K. Hamilton
Comments